A). Sejarah Berdirinya Kerajaan
Mataram Islam
Kerajaan Mataram mulai berdiri tahun
1582, terletak didaerah Kota Gede sebelah tenggara kota Yogyakarta,
kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki ageng Sela dan Ki Ageng
Pemanahan yang mengklaim masih keturunan penguasa Majapahit.
Asal usul kerajaan ini adalah
berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultanan Pajang ( Sultan
hadiwijaya),berpusat di Bumi
Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai
hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya Ki Ageng
Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan,
akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya mendapatkan
tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng Tembayat dan Ki
Ageng Mangir. Akan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi sambutan baik akan
hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki Ageng Pemanahan tetap
melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di Plered dan juga
mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang mementang kehadiranya.
Tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan
meninggal dunia dan digantikan oleh putranya bernama Sutawijaya atau Pangerang
Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, dia
pun bercita – cita untuk membebaskan diri dari kekuasaan Pajang, sehingga
hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai memburuk hingga berujung
peperangan. Dalam peperangan ini kerajaan Pajang mengalami kekalahan dan Sultan
Hadiwijaya meninggal.
Kemudian Sutawijaya mengangkat
dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar panembahan senopati . ia mulai
membangun kerajaanya dan memindahkan pusat pemerintahan di Kotagede.
Pada tahun 1590 kerajaan Mataram
menaklukan Madiun, Jipang, Kediri kemudian melanjutkan dengan menaklukan
Pasuruan dan Tuban.
Sebagai raja islam yang baru beliau
mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam,
sebagai penerus kesultanan Demak.
Kerajaan Mataram Islam saat itu
menganut system Dewa – Raja. Yang berarti kekuasaan tertinggi mutlak
berada pada Sultan.
Sultan Wijaya meninggal dan
dimakamkan diKotagede dan digantikan putranya bernama Mas jolang yang bergelar
Prabu Hanyokrowati, pada masa ini tidak banyak mengalami kemajuan dikarenakan
beliau meninggal karena kecelakaan saat berburu dihutan krapyak yang kemudian
digantikan putra keempatnya yang bergelar Adipati Martoputro, akan tetapi
karena Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf maka tahta beralih ke
putra sulung Mas jolang yang bernama Raden Mas Rangsang, pada masa ini
kerajaan mataram mengalami kemajuan dan mengalami masa keemasan.
Setelah menaklukan Madura beliau
mengganti “ panembahan” dengan “Sesuhunan ( sunan) kemudian menggunakan
gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma” terakhir tahun 1640 sehabis dari Makkah beliau
menyandang gelar “Sultan Agung Senopati Ing Alaga Abdurrahman “ dan beliau
memindahkan lokasi kraton ke “Karta “ akibat terjadi gesekan penguasaan
perdagangan antara Mataram dan VOC yang berpusat di Batavia.
Setelah Sultan Agung meninggal, digantikan
putra beliau “Sesuhunan Amangkurat 1, beliau memindahkan lokasi kraton ke
Pleret pada tahun 1647 tidak jauh dari “Karta”selain itu beliau juga tidak lagi
menggunakan gelar sultan melainkan Sunan ( Sesuhunan atau yang pertuan )
pada masa ini kerajaan Mataram kurang stabil karena banyak ketidak
puasan dan pemberontakan, pada masanya terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Madura bernama Trunajaya yang
akhirnya berhasil mengalahkan Mataram , Amangkurat 1 melarikan diri dan
meningga dalam pelarianya yaitu di Tegalarum ( 1677 )sehingga mendapat julukan
Sunan Tegalarum, kemudian diganti oleh putranya Amangkurat II , beliau
bergabung dengan VOC untuk mengalahkan pasukan Trunajaya dan
akhirnya berhasil .
Dalam masa ini Amangkurat II sangat
patuh kepada VOC sehingga menimbulkan ketidak puasan dikalangan istana dan
akhirnya banyak pemberontakan terjadi lagi. Pada masa ini keraton Mataram
dipindahkan ke Kartasura ( 1680 ).
Setelah Amangkurat II meninggal
diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena
dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal,
Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap diBatavia
lalu diasingkan di Ceylon,Srilanka.dan meninggal tahun 1734.
Kekacauan politik dari masa kemasa
akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III setelah wilayah
Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Suarakarta tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam
Perjanjian Gayanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh
pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran
Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut ( ejaan
Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa Jantiharjo)
ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya
kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Berdasarkan perrjanjian ini
wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai
oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di
Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada Pangeran
Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang
berkedudukan di Yogyakarta.
Perpecahan terjadi lagi dengan
munculnya Mangkunegara ( R.M Said) yang terlepas dari kesunanan Surakarta dan
Pakualaman ( P. Nata Kusuma) , dan keempat pecahan Mataram Kesultanan Mataram
tersebut masih melanjutkan dinasti masing – masing , bahkan pecahan Mataram
tersebut terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui
masyarakat.
B). Raja Dan tokoh
- Ki Ageng Pamanahan ( Ki Gede Pamanahan )
- Sutawijaya ( Danang sutawijaya )
- Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
- Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( Raden Mas Jatmika )
- Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung)
- Amangkurat II (Raden Mas Rahmat )
- Amangkurat III (Raden Mas Sutikna )
1. Ki Ageng Pamanahan (
Ki Gede Pamanahan )
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584 2. Sutawijaya ( Danang sutawijaya )
- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede.
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584 2. Sutawijaya ( Danang sutawijaya )
- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede.
Pejabat-pejabat tinggi dalam Kraton
dan daerah Kutagara:
Di dalam kraton: Raja, Ratu-Eyang
(nenek raja), Ratu-Ibu (ibu raja), Ratu-Kencana (permaisuri), P. Adipati Anom
(putra mahkota). Pemerintahannya diurus oleh 4 orang wedana lebet. Di atas
keempat wedana ini dahulu ada jabatan patih lebet. Pada masa Kerta yang menjadi
patih lebet Adipati Mandaraka. Pada masa Amangkurat I, Tumenggung Singaranu
menjadi patih lebet. Tetapi sejak tahun 1775 jabatan patih lebet dihapuskan.
Keempat wedana lebet itu adalah: a. Wedana Gedong Kiwa, b. Wedana Gedong
Tengen, c. Wedana Keparak Kiwa, d. Wedana Keparak Tengen. Wedana-wedanna Gedong
mengurusi keuangan dan perbendaharaan kraton, sedangWedana-wedana Keparak
mengurusi keprajuritan dan pengadilan. Para wedana lebet biasanya bergelar
Tumenggung atau Pangeran (kalau masih berkeluarga raja). Sebelum tahun 1628
wedana-wedana lebet Mataram adalah: P. Mandurareja, P. Upasanta (keduanya
We,r,dana Keparak), P. Manungoneng, P. Sujanapura (keduanya Wedana Gedong).
Tiap-tiap wedana lebet ini dibantu oleh seorang kliwon (pepatih atau lurah
carik) yang biasanya bergelar Ngabehi, seorang kebayan (juga bergelar Ngabehi,
Rangga atau Raden) dan 40 orang mantri-mantri jajar. Untuk mengurusi daerah
kota (Kutanegara) raja menunjuk 2 orang wedana miji (miji = memilih, jadi
wedana yang dipilih untuk tugas-tugas tertentu). Wedana-wedana miji ini
langsung dibawah perintah raja. Kedudukan wedana miji di zaman modern hampir
sama dengan wali kota (sebagai stadholder in the city).
Dalam masa akhir pemerintahan Sultan Agung salah seorang dari wedana miji
adalah Tumenggung Danupaya. Dalam tahun 1661 (zaman Mangku Rat I) Danupaya
diganti oleh Wirajaya dalam jabatannya sebagai “stadholder in Mataram”. Sebagai
orang kedua adalah Nitinegara. Sebelum itu terkenal pula 2 orang Tumenggung
Mataram (tentulah ini Tumenggung-tumenggung Mataram proper =
Tumenggung-tumenggung dari wilayah Kutagara = Wedana-wedana miji) yaitu
Tumenggung Endranata dan Kyai Demang Yudaprana. Kedudukan kedua wedana miji ini
sangat penting sehingga bersama-sama dengan keempat wedana lebet, mereka
merupakan anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Tetapi pada zaman Kartasura (1774)
pengurusan daerah Narawita diserahkan kepada 4 orang pejabat, seorang di antara
mereka diangkat sebagai kepalanya (wedananya).
2.
Pejabat-pejabat di Wilayah Negara Agung
Wilayah Negara Agung yang masih termasuk daerah pusat dari wilayah kerajaan ini
administrasi pemerintahnya dikepalai oleh para wedana jawi. Sebagai pimpinan
dan koordinator dan para wedana jawi adalah patih – jawi. Patih jawilah yang
bertanggung jawab atas keberesan jalannya pemerintahan di daerah luar Kutagara,
termasuk pengurusan masuknya pajak-pajak dan daerah wewenangnya, juga
mengumpulkan tenaga-tenaga laskar orang desa bila diperlukan. Para wedana jawi
jumlahnya sesuai dengan bagian-bagian dari Negara Agung dan bernama menurut
daerah yang menjadi wewenangnya. Dengan demikian maka ada 8 wedana jawi, yaitu
: Wedana Bumi (yang menguasai daerah Bumi), Wedana Bumija, Wedana Siti Ageng
Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana
Penumping, Wedana Penekar. Wedana-wedana ini bertempat tinggal di daerah
Kutagara, dan masing-masing dibantu oleh seorang kliwon, seorang kebayan, dan
40 orang mantri jajar. Untuk mengurusi secara langsung daerah-daerah di Negara
Agung diangkat bupati-bupati dengan pejabat-pejabat bawahannya. Untuk
tanah-tanah lungguh dan bangsawan-bangawan kraton yang juga terdapat di
lingkungan Negara Agung, biasanya oleh bangsawan yang bersangkutan diwakilkan
seorang Demang atau Kyai Lurah untuk mengurusinya.
3.
Pejabat-pejabat di wilayah Mancanagara
Daerah-daerah di mancanegara baik kulon maupun wetan, masing-masing dikepalai
oleh seorang bupati atau lebih (dalam Surat Pustaka Radja Puwara istilahnya
juga wedana), yang biasanya berpangkat Tumenggung atau Raden Arya. Jumlah
bupati yang mengepalai tiap-tiap daerah tidak sama, tergantung pada luas dan
tidaknya daerah itu. Sebagai contoh misalnya: pada zaman Paku Buwana II
(Kartasura) Daerah Kediri (dengan tanah cacah 4.000 karya) hanya dikepalai oleh
seorang bupati yaitu Tumenggung Katawengan. Sedang daerah Madiun (dengan tanah
cacah 16.000 karya) dikepalai oleh 2 orang bupati, yaitu Raden Tumenggung
Martalaya dan Raden Arya Suputra (24). Daerah yang tidak luas cukup dikepalai
oleh seorang mantri atau seorang kliwon. Para bupati mancanagara tersebut di
bawah pengawasan seorang wedana bupati mancanagara. Pada tahun 1677 Mas Tumapel
(saudara sepupu Panembahan Mas Giri) yang semula menjabat sebagai bupati
Gresik, kemudian diangkat menjadi wedana bupati mancanagara berkedudukan di
Jipang (terkenal dengan nama Adipati di Jipang) yang ditugaskan mengepalai dan
mengkoordinasikan bupati-bupati mancanagara. Juga di dalam tahun 1709
Tumenggung Surawijaya diangkat menjadi wedana bupati mancanagara wetan.
4.
Pejabat-pejabat di daerah Pasisiran
Tiap-tiap daerah di pasisiran juga dikepalai oleh seorang bupati atau
syahbandar, berpangkat Tumenggung, Kyai Demang atau Kyai Ngabehi. Sebagai
contoh misalnya Bupati Pasisiran Jepara ialah Ngabehi Martanata (1657), Bupati
Semarang Kyai Ngabehi Wangsareja, Bupati Demak Tumenggung Suranata. Dalam tahun
1618 sebagai Bupati Pasisiran Jepara Ulubalang Kojah (keturunan India), dalam
tahun 1631-1636 dijabat oleh Kyai Demang Leksmana. Meskipun bupati-bupati atau
syahbandar itu mempunyai kekuasaan memerintah dalam daerah wewenangnya, tetapi
mereka tidak lepas dan pengawasan pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kutagara.
Fakta-fakta di bawah ini kiranya memperjelas : Pemalang (1622-1623) di bawah
yurisdiksi Pangeran Purbaya, yang diwakilkan di situ ialah seorang Kyai Lurah,
sebagai stadholder. Pekalongan (1622) di bawah yurisdiksi Pangeran Upasanta.
Tegal (1631-1638) tumenggungnya di bawah authority Tumenggung Mataram (wedana
miji) Danupaya. Semarang (1631) di bawah Tumenggung Warganaya, yang tunduk
kepada Pangeran Kraton Tumenggung Arya Wangsa.
Di samping jabatan-jabatan tinggi tersebut di atas, dalam tahun 1744 (zaman
Kartasura) masih ada jabatan-jabatan yang diberi tugas khusus untuk mengepalai
golongan-golongan rakyat tertentu. Jabatan-jabatan itu dipegang oleh 4 orang
Tumenggung, yaitu :
1.
Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang.
2.
Tumenggung yang mengepalai 1.000 orang Gowong.
3.
Tumenggung yang mengepalai 1.200 orang Tuwaburu.
4.
Tumenggung yang mengepalai 1.400 orang Kadipaten.
Semua jabatan ini di bawah kekuasaan
patih jero (lebet).
5.
Jabatan-jabatan yang lebih rendah:
Di samping jabatan-jabatan tinggi pemerintahan seperti tersebut di muka masih
terdapat jabatan-jabatan tengahan dan rendahan yang jumlahnya sangat besar.
Pejabat-pejabat tersebut tidak hanya terbatas pada bidang pemerintahan saja,
tetapi juga pada bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kebesaran kraton
dan raja. Serat Wadu Adji maupun Serat Radja Kapa-kapa memberikan uraian
tentang nama-nama pangkat punggawa raja (abdi dalem) tersebut dengan arti dan
tugasnya. Bukanlah maksudnya di sini akan disebut satu per satu jabatan-jabatan
itu, tetapi hanya untuk sekedar memberi gambaran . Jabatan-jabatan yang
berhubungan dengan pamong praja antara lain : Panewu, Panatus, Paneket,
Panalawe, (Penglawe), Panigangjung, Panakikil. Yang berhubungan dengan
Keagamaan: Pengulu, Ketib, Modin, Marbot, Naib, Suranata dan sebagainya (mereka
sering disebut abdi dalem Pamethakan/Mutihan). Yang berhubungan dengan
pengadilan: Jaksa, Mertalutut (tukang menghukum gantung), Singanegara (tukang
menghukum dengan senjata tajam). Yang berhubungan dengan keuangan: Pemaosan
(yang mengumpulkan pajak tanah), Melandang (yang memungut hasil bumi berupa
padi, palawija dan sebagainya untuk disetorkan ke kraton, dan lain-lain). Yang
berhubungan dengan perlengkapan: Pandhe (pekerja barangbarang dan besi), Kemas
(pekerja barang-barang dan emas), Genjang (pekerja barang-barang selaka),
Sarawedi (pekerja intan), Gemblak (pekerja kuningan), Sayang (pekerja tembaga),
Gajahmati (pembuat cemeti, barang-barang anyaman, amben dan sebagainya),
Gendhing (tukang membuat gamelan), Inggil (tukang merawat gamelan), Blandhong
(pencari kayu), Kemit Bumi (tukang membersihkan dalam cepuri dan mengangkut
barang-barang), Palingga (tukang membuat batu bata), Wegeg (tukang membuat batu
nisan), Marakeh (pembuat gunting), Jlagra (pembuat barang-barang dan batu seperti
umpak dan sebagainya), Undhagi (tukang ukir kayu), Gerji (tukang jahit) dan
lain-lain.
Demikianlah macam ragam nama jabatan (abdi dalem) raja, yang masing-masing
mempunyai pegawai (orangnya) sendiri-sendiri. Jabatan-jabatan demikian itu
rupanya makin lama makin bertambah jumlahnya (macamnya), sehingga pada
pertengahan abad ke-19 (menurut catatan Pangeran Juru, yaitu Patih Danuredja
IV) jumlah tersebut tidak kurang dan 150 macam. Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan, bahwa lingkungan kehidupan para pejabat pertengahan di rumah-rumah
para bupati, demang dan sebagainya), adalah bentuk miniatur kehidupan kraton.
Mereka mempunyai abdi-abdi pengiring, abdi-abdi kriya dan sebagainya dalam
jumlah yang sesuai dengan kedudukannya.
c) Puncak Kejayaan Mataram Islam
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie ) Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.
D. Peperangan dan Pemberontakan
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie ) Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629). Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.
D. Peperangan dan Pemberontakan
Silsilah Keluarga
Nama
aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Dilahirkan tahun 1593, merupakan putra dari pasangan Prabu
Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram,
sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain
mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu
Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan
istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat
minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana
umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang
menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas
Syahwawrat. Yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, melahirkan Raden Mas Sayidin
(kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar Sultan Agung
Pada
awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah
menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelar menjadi Susuhunan Agung, atau
disingkat Sunan Agung. Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa
Arab untuk mengimbangi saingannya, yaitu Sultan Banten. Gelar tersebut diperoleh
dari pemimpin Ka'bah di Makkah, yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana
Matarami. Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam uraian artikel di bawah ini
adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu Sultan Agung.
Awal Pemerintahan
Sultan Agung naik tahta tahun 1613
dalam usia 20 tahun. Patih senior Ki Juru Martani wafat tahun 1615, dan
digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di
Kotagede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak
ditempati pada tahun 1622. Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan
Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu
Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani
dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang.
Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati dalam perangkap Tumenggung Alap-Alap.
Kemudian tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba
(Mojoagung, Jombang).
Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang berniat mengkhianati Mataram namun ragu-ragu. Akibatnya, tanpa bantuan Pajang, pasukan Surabaya dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem, Rembang dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang berniat mengkhianati Mataram namun ragu-ragu. Akibatnya, tanpa bantuan Pajang, pasukan Surabaya dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem, Rembang dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram
mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk
menghentikan suplai air namun kota ini tetap bertahan. Sultan Agung kemudian
mengirim Tumenggung Bahurekso (bupati Kendal) menaklukkan Sukadana (Kalimantan
sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru
Martani) menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas
banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang
bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan. Pemimpinnya menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Pemimpin Surabaya yang bernama Jayalengkara akhirnya meninggal karena usia tua. Putranya yang bernama Pangeran Pekik ditangkap dan diasingkan ke Ampel. Surabaya pun menjadi bawahan Mataram yang dipimpin Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan. Pemimpinnya menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Pemimpin Surabaya yang bernama Jayalengkara akhirnya meninggal karena usia tua. Putranya yang bernama Pangeran Pekik ditangkap dan diasingkan ke Ampel. Surabaya pun menjadi bawahan Mataram yang dipimpin Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca Penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan
Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan.
Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang
menewaskan dua per tiga penduduknya. Pada tahun 1627 terjadi pemberontakan Pati
yang dipimpin Adipati Pragola sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini
dapat ditumpas dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan Sultan Agung dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC yang saat itu
masih bermarkas di Ambon, mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak
mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang
berlarut-larut melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama
dengan VOC.
Pada tahun 1619 Belanda berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas VOC pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan Belanda, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu menyerang Surabaya. Hubungan diplomatik pun putus.
Pada tahun 1619 Belanda berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas VOC pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan Belanda, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu menyerang Surabaya. Hubungan diplomatik pun putus.
Perang Menyerbu Batavia
Sasaran Mataram setelah Surabaya
jatuh adalah Banten. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu
direbut terlebih dahulu. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal menjadi duta
ke Batavia menyampaikan tawaran damai dengan syarat tertentu dari Mataram.
Tawaran tersebut ditolak VOC sehingga perang menjadi pilihan selanjutnya. Maka,
pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahurekso bupati
Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran
Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit.
Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran
karena kurang perbekalan.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Bahurekso dan Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada Mei 1629, dan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi. Lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon disediakan sebagai persediaan pangan pasukan Mataram. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Maka, serangan kedua Sultan Agung pun mengalami kegagalan lagi. Meskipun demikian, pihak Mataram sempat membendung dan mengotori Sungai Ciliwung mengakibatkan timbul wabah kolera melanda Batavia. Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen tewas oleh penyakit ini.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Bahurekso dan Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada Mei 1629, dan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi. Lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon disediakan sebagai persediaan pangan pasukan Mataram. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Maka, serangan kedua Sultan Agung pun mengalami kegagalan lagi. Meskipun demikian, pihak Mataram sempat membendung dan mengotori Sungai Ciliwung mengakibatkan timbul wabah kolera melanda Batavia. Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen tewas oleh penyakit ini.
Pasca Kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah. Ia
menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama menghancurkan VOC-Belanda.
Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena Sultan menyadari posisi
Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah
bawahan berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para
ulama Tembayat yang berhasil ditumpas tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur
memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan
pemberontakan Sumedang tahun 1632. Sedangkan Ukur dapat ditumpas oleh Patih
Singaranu tahun 1635
Disusul kemudian pemberontakan Giri Kedaton. Karena orang Mataram tidak ada yang berani menghadapi keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini dipadamkan pasangan suami istri tersebut tahun 1636.
Disusul kemudian pemberontakan Giri Kedaton. Karena orang Mataram tidak ada yang berani menghadapi keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini dipadamkan pasangan suami istri tersebut tahun 1636.
Akhir Kekuasaan Sultan Agung
Pada tahun 1636 Sultan Agung
mengirim Pangeran Silarong untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur.
Meskipun dibantu Bali, negeri Blambangan akhirnya jatuh tahun 1640. Seluruh
pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Mataram, kecuali Banten dan Batavia.
Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun
1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Ia juga menjalin hubungan
diplomatik dengan Makassar, negeri kuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat Mataram hanya bergantung pada pertanian. Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal itu ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat Mataram hanya bergantung pada pertanian. Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal itu ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Kematian Sultan Agung
Pada tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia
pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga Mataram mulai
dari dirinya. Sultan Agung akhirnya meninggal dunia pada awal tahun 1646 dan
dimakamkan di sana. Sultan Agung digantikan putranya, yaitu Raden Mas
E. Kehancuran dan kemunduran
Kemunduran
Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai
seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat
tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.
Setelah Sultan Agung, raja Mataram berikutnya adalah Sunan Amangkurat I (1645-1677). Pada masa pemerintahannya, masa kejayaan Mataram pun lambat laun mulai pudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya. Daerah-daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Mataram, satu per satu berusaha memisahkan diri.
Akhirnya, setelah dikacau berbagai pemberontakan, seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram pun terjerumus dalam 3 perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).
Ya, apa yang telah dilakukan oleh raja-raja pertama relatif menjadi tidak berarti lagi setelah dibuatnya perjanjian Giyanti dan Salatiga. Padahal, politik luar negeri yang dilakukan dengan cara ekspansi telah berhasil membawa Mataram menjadi sebuah kerajaan besar, yang mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Agung. Namun sekali lagi, Perjanjian Giyanti dan Salatiga telah mengakibatkan Mataram runtuh, sehingga punahlah impian para raja pertama akan pembentukan kesatuan Jawa. Ditambah pula dengan pecahnya Keraton Yogyakarta, maka agaknya kesatuan Jawa seperti yang diimpikan oleh para raja pertama, hanyalah sekedar impian yang tidak pernah terwujud
Setelah Sultan Agung, raja Mataram berikutnya adalah Sunan Amangkurat I (1645-1677). Pada masa pemerintahannya, masa kejayaan Mataram pun lambat laun mulai pudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya. Daerah-daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Mataram, satu per satu berusaha memisahkan diri.
Akhirnya, setelah dikacau berbagai pemberontakan, seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram pun terjerumus dalam 3 perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).
Ya, apa yang telah dilakukan oleh raja-raja pertama relatif menjadi tidak berarti lagi setelah dibuatnya perjanjian Giyanti dan Salatiga. Padahal, politik luar negeri yang dilakukan dengan cara ekspansi telah berhasil membawa Mataram menjadi sebuah kerajaan besar, yang mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Agung. Namun sekali lagi, Perjanjian Giyanti dan Salatiga telah mengakibatkan Mataram runtuh, sehingga punahlah impian para raja pertama akan pembentukan kesatuan Jawa. Ditambah pula dengan pecahnya Keraton Yogyakarta, maka agaknya kesatuan Jawa seperti yang diimpikan oleh para raja pertama, hanyalah sekedar impian yang tidak pernah terwujud
F. Peninggalan Kerajaan Mataram
Islam
I. Sumber-
Sumber Berita:
- Babad Tanah Djawi
- Babad Meinsma
- Serat Kandha
- Serat Centini
- Serat Cabolek
- Serat Dharma Wirayat (yang sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.)
- Serat Nitipraja
- Babad Sangkala
- Babad Sankalaniang Momana
- Sadjarah Dalem
II. Seni
dan Tradisi
- Sastra Ghending karya Sultan
Agung

- Tahun Saka
Pada tahun 1633, Sultan
Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari
dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan
- Kerajinan Perak
Perak Kotagede sangat
terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan dari orang-orang Kalang.
- Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang
Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi upacara Kalang Obong ini
bukan mayatnya yg dibakar melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya 

- Kue Kipo
Makanan
tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa,
tepung, dan 

- Pertapaan Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan
Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang,
Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan
ketika mencari wahyu karaton Mataram. 

III.
Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:
- Segara Wana dan Syuh Brata
Adalah meriam- meriam yang sangat
indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda) atas perjanjiannya dengan
Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan keraton Surakarta dan
merupakan meriam yang paling indah di nusantara. - Puing - puing / candi- candi Siwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan.
- Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
- Baju “keramat” Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
- Masjid Agung Negara
Masjid Agung
dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. - Masjid Jami Pakuncen
Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di
Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, merupakan salah bangunan peninggalan
Islam yang dibuat Sunan Amangkurat I sebagai salah satu tempat penting untuk
penyebaran Islam kala itu.
- Gerbang Makam Kota Gede
Gerbang
ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam. - Masjid Makam Kota Gede
- Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
- Bangsal Duda
- Rumah Kalang
- Makam Raja- Raja Mataram di Imogiri
Mataram
islam mencapai puncak kejayaanya pada masa pemerintahan raja ke tiga yaitu
Sultan Agung. Raja Sultan Agung memeritah dari tahun 1613 sampai dengan tahun
1645. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di
Kotagede. Pada waktu itu wilayah kekuasaanya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan sebagian dari Jawa Barat. Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram dibagi menjadi
beberapa kesatuan wilayah besar.(Marwati.Nugroho.1990:1)Urutan pembagian wilayah dari pusat ke daerah adalah sebagai berikut: istana atau keraton raja merupakan pusat negara dan terletak di ibu kota negara, yang bisa disebut dengan wilayah kutanegara. Selanjutnya wilayah yang mengitari kutanegara disebut wilayah Negara Agung. Menurut Serat Pustaka Raja Puwara wilayah Negara Agung ini semula dibagi menjadi empat bagian yang meliputi daerah daerah-daerah Kedu, Siti Ageng atau Bumi Gede, Begelen, dan Pajang. (Marwati.Nugroho.1990:1)
Pada masa Sultan Agung masing-masing daerah itu dibagi lagi menjadi dua bagian. Daerah Kedu dibagi menjadi daerah Siti Bumi dan Bumijo. Masing-masing terletak disebelah barat dan timur sungai Progo. Daerah Siti Ageng dibagi menjadi Siti Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen. Daerah Bagelan dibagi menjadi daerah Sewu dan daerah Numbak. Sedangkan daerah Pajang dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah sukowati dan daerah Panekar ialah daerah pajang itu sendiri. (Marwati.Nugroho.1990:2)
Wilayah yang diluar negara Agung, tetapi tidak meliputi daerah pantai disebut Mancanegara. Karena wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian dari Jawa Barat, maka dibagi dalam dua bagian, yaitu Mancanegara wetan (timur) dan Mancanegara kilen (barat). Wilayah yang terletak disepanjang pantai Utara disebut Pasisiran. Pesisiran juga dibagi menjadi Pasisiran Kilen dan Pasisiran Wetan. Batas wilayah ini adalah Sungai Tedunan dan Sungai Serang. Untuk mengurusi wilayah yang luas disusun jabatan-jabatan pemerintahan yang secara hierarkis menyilang dari atas kebawah dan menyebar dari pusat ke daerah. (Marwati.Nugroho.1990:2)
Sistem pembagian wilayah pada awal abad ke-18 mengalami perubahan dengan adanya pengaruh kekuasaan VOC. Setelah raja Sultan Agung wafat, kemunduran-kemunduran mulai terjadi. Berangsur-angsur wilayah kekuasaan Kerajaan semakin menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC, sebagai imbalam intervensinya dalam pertengtangan-pertentangan intern Kerajaan Mataram setelah perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678 Mataram harus melepaskan Karawang, sebagian daerah Priangan, dan Semarang. Demikian pula setelah perlawanan Untung Suropati dapat dipadamkan sekitar tahun 1705 daerah Cirebon yang juga mengakui kekuasaan Mataram,juga sisa dari sebagian Priangan, dan sebagian pulau madura dianeksasi oleh Belanda. Setelah perang China pada tahun 1743, seluruh pantai utara Jawa dan seluruh pulau Madura dikuasai oleh Belanda. (Marwati.Nugroho.1990:3)
Pada tahun 1755 terjadi perang Gianti, yang mengakibatkan negara Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Dalam tahun 1757 sampai 1813 wilayah terpecah lagi dengan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan Pakualam. Pada masa Gubernur Deandles (1808-1811) dia membuat peraturan baru yakni residen dikerajaan diberi penghormatan sebagai wakil dari suatu kekuasaan yang tertinggi dan menempatkanya sejajar dengan raja. Peraturan itu dapat diterima di Surakarta. Namun tidak demikian di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh menentang peraturan itu. Deandles menanggapi itu dengan ekspedisi militer, yang dipimpin oleh deandles sendiri. Sang Sultan Sepuh dipaksa turun dari tahtanya. Sebagai pengantinya diangkat putra mahkotanya menjadi raja dengan gelar Hamengkubuwono II atau Sultan Rojo. Akibatnya kedua negara itu terpaksa menerim perjanjian itu. (Marwati.Nugroho.1990:3)
Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari tangan Belanda. Mengetahui hal itu, Surakarta dan Yogyakarta ingin memperoleh kekuasaanya kembali. Namun tidak berhasil. Tetapi wilayahnya semakin berkurang. Sultan Sepuh yang sempat diturunkan oleh Belanda, kini menjadi raja lagi. Sang Sultan Sepuh mengajak Sunan Surakarta untuk menentang Inggris. Oleh karena itu Ingris mengambil tindakan kekerasan, dan memaksa Sultan Sepuh untuk turun Tahta lagi. Sebelum turun dari tahtanya, Sultan dan Sunan Surakarta dipaksa menandatangani perjanjian, yang isinya harus menyerahkan sebagian wilayahnya dan kekuasaan pada pangeran Notokusumo yang diangkat oleh Inggris menjadi Pangeran Mangkunegara. (Marwati.Nugroho.1990:4)
Ketika Jawa dikembalikan lagi kepada Belanda, Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta mencoba memulihkan kekuasaan namun gagal. Di Yogyakarta kebencian terhadap Belanda semakin bertambah, akhirnya meletus perang Diponegoro atau Perang Jawa. Setelah perang Diponegoro selesai, wilayah Surakarta ataupun Yogyakarta semakin menyempit, hanya meliputi Daerah Pajang, Mataram, Gunung Kidul, dan Sukowati. Dan semua persoalan pemerintahan diatur oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Bahkan penghasilannya ditentukan oleh Belanda. Pada tahun 1831 di Yogyakarta pangeran Mangkudiningrat dicurigai akan melakukan pemberontakan, akhirnya dia ditangkap dan dibuang. Di Surakarta Sunan Paku Buwono IV diam-diam meninggalkan istana pada tahun 1830.namun sunan dikejar dan ditangkap dan dibuwang ke Ambon. Pangeran Purboyo menjadi Raja bergelar Sunan Paku Buwono VII. Selanjutnya pada tanggal 27 September 1830 diadakan perjanjian yang isinya Sunan Surakarta menguasai Pajang dan Sukowati, sedangkan Sultan Yogyakarta memerintah Mataram dan Gunung Kidul. (Marwati.Nugroho.1990:5)
